Sabtu, 20 Agustus 2011

sipirok



Masyarakat Sipirok mengenal adanya beberapa jenis perkawinan yang berlaku menurut adat. Masing-masing jenis perkawinan dilaksanakan melalui proses yang berlain-lainan satu sama lain. Penamaan setiap jenis perkawinan didasarkan pada proses pelaksanaan masing-masing perkawinan.
Perkawinan yang dilaksanakan dengan lebih dahulu meminang calon pengantin perempuan dan mensyahkan mas kawin menurut prosedur adat kepada pihak orang tuanya, oleh masyarakat Sipirok disebut perkawinan manjujur.
Kegiatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang pemuda untuk mengawini seorang perempuan atau seorang anak gadis disebut mambuat boru (mengambil isteri). Sedangkan perempuan atau anak gadis yang menjalani perkawinan dengan seorang laki-laki disebut marbagas (berumah tangga).
Dalam perkawinan manjujur, pengantin laki-laki diwajibkan oleh adat untuk menjemput pengantin perempuan dari rumah orang tuanya dengan suatu upacara. Kegiatan menjemput pengantin perempuan disebut mangalap boru. Dalam hubungan ini, pengantin perempuan diberangkatkan dengan suatu upacara adat dari rumah orang tuanya menuju rumah orang tua pengantin laki-laki. Kegiatan ini disebut pabuat boru.
Dalam pelaksanaan perkawinan, pengantin laki-laki dinamakan bayo pangoli, dan pengantin perempuan dinamakan na nioli atau namora pule. Ada pendapat yang menduga bahwa penamaan bayo pangoli bagi laki-laki berasal dari istilah “bayo pamboli” (laki-laki pembeli) dan penamaan boru na nioli bagi pengantin perempuan berasal dari istilah “boru na niboli” (perempuan yang dibeli). Pendapat yang demikian ini didasarkan pada kenyataan bahwa, disamping disebut dengan berbagai nama, mas kawin (jujuran) yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepada perempuan dalam melaksanakan perkawinan dinamakan pula boli (pembeli).
Dalam hal ini, pengertian atau konsep yang sebenarnya terkandung dalam istilah boli yang digunakan untuk menamakan mas kawin bukan “pembeli” atau “alat pembeli”, tetapi “penukar” atau “alat tukar”. Pengertian yang demikian ini kelihatannya relevan dengan kenyataan bahwa mas kawin disebut juga tuhor. Dalam hal ini, istilah tuhor sama artinya dengan tukar dalam bahasa Indonesia (Melayu). Mungkin sekali kata tukar berasal adri kata “tuhor” atau sebaliknya. Tetapi di Tapanuli Selatan, kata tuhor sering kali diartikan orang dengan “harga” dan istilah boli diartikan orang “beli” atau “pembeli”. Oleh karena itu, timbul anggapan yang salah bahwa dalam perkawinan, pihak laki-laki “membeli” calon istrinya dengan menyerahkan boli (mas kawin) kepada pihak orang tua calon isterinya itu. Padahal sebenarnya yang terjadi dengan penyerahan boli itu bukan transaksi jual beli, tetapi pertukaran. Dengan kata lain, seorang laki-laki bisa mendapatkan seorang perempuan untuk dijadikan isteri, apabila perempuan yang bersangkutan ditukarnya (bukan dibelinya) dengan boli atau tuhor (sejumlah mas kawin) yang diterima oleh orang tua pihak perempuan yang bersangkutan sebagai tuhor atau penukar anaknya itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam perkawinan, laki-laki bukanlah membeli isteri, tetapi isteri diperoleh dengan menyerahkan mas kawin kepada pihak orang tuanya sebagai penukar (bukan sebagai pembayar).
Sejalan dengan pengertian yang demikian ini, maka istilah bayo pangoli yang digunakan untuk menyebut pengantin laki-laki bukan berarti laki-laki pembeli, tetapi berarti laki-laki penukar atau laki-laki yang menukar (dengan mas kawin atau boli). Dan istilah boru na nioli yang digunakan untuk menyebut pengantin perempuan bukan berarti “perempuan yang dibeli”, tetapi “perempuan yang ditukar” (dengan mas kawin atau boli).
Perkawinan manjujur bisa berawal dari dijodohkannya seorang pemuda dengan seorang gadis oleh orang tua mereka, terutama karena keduanya merupakan saudara sepupu yang dapat dikawinkan menurut kaidah adat. Penjodohan itu menurut tradisi lama bisa dilakukan ketika keduanya masih bayi atau anak-anak. Kadang-kadang ketika keduanya sudah cukup besar, mereka diikat pula dengan pertunangan resmi yang dikukuhkan dengan sumpah yang disebut marbulan. Sebagai tanda ikatan pertunangan, pihak laki-laki menyerahkan suatu benda kepada pihak perempuan. Benda itu bisa berupa kain atau perhiasan. Dan penyerahan tanda pertunangan itu boleh juga dilakukan secara timbal balik oleh kedua belah pihak. Tradisi memperjodohkan dan mempertunangkan anak itu banyak dilakukan orang pada masa dahulu. Dan kini tradisi itu sudah hampir hilang.
Perkawinan manjujur bisa juga bermula prosesnya dengan pencarian jodoh calon isteri. Pencarian jodoh calon isteri bagi pemuda dapat dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan atau dengan bantuan ibu, nenek atau namboru-nya. Calon isteri boleh dicari di kampung sendiri atau kampung orang lain.
Pencarian jodoh atau calon isteri pada masa dahulu dapat dilakukan oleh seorang pemuda melalui kegiatan martandang atau marbondong (pacaran) ataupun dengan cara lain. Dan apabila si pemuda telah menemukan calon isteri yang diinginkannya atau ia telah sepakat dengan seorang gadis untuk melakukan perkawinan, maka ia akan minta tolong kepada namboru atau neneknya untuk memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ia bermaksud hendak berumah tangga.
Jika maksud si pemuda disetujui orang tuanya, maka selanjutnya pihak orang tua si pemuda, dengan bantuan kerabat dekatnya akan menyelidiki berbagai hal mengenai keadaan gadis yang dicalonkan si pemuda untuk jadi isterinya. Kegiatan menyelidiki ini disebut mangaririt boru (meneliti keadaan calon isteri). Selain itu, orang tua si pemuda juga menyelidiki keadaan orang tua kaum kerabat gadis yang bersangkutan. Dan kalau hasil penyelidikan itu menunjukkan keadaan baik menurut penilaian orang tua si pemuda, maka sebelum melakukan peminangan, orang tua si pemuda baik secara langsung atau dengan perantara anak boru mereka, lebih dahulu melakukan pembicaraan dengan pihak orang tua si gadis. Pada kesempatan itu, pihak orang tua si pemuda menyampaikan keinginan anak mereka untuk mempersunting anak gadis yang dimaksud. Setelah mengetahui hal itu, biasanya pihak orang tua si gadis meminta tenggang waktu buat berunding dengan anak gadis dan para kerabat dekat mereka sebelum upacara peminangan dilakukan.
Selama berlangsungnya tenggang waktu yang telah disepakati, pihak orang tua si gadis bedunding dengan para kerabatnya mengenai maksud dari pihak orang tua si pemuda untuk meminang anak mereka. Disamping itu, pihak orang tua si gadis juga menyelidiki berbagai keadaan dari si pemuda dan keadaan orang tua si pemuda serta kaum kerabatnya. Di pihak lain, orang tua si pemuda merundingkan dengan para kerabatnya hal-hal yang berkaitan dengan upacara peminangan yang akan dilakukan pada waktu yang telah disepakati dengan pihak orang tua si gadis.
Setelah tenggang waktu berakhir, yang berarti waktu untuk upacara peminangan telah tiba, maka utusan dari pihak orang tua si pemuda datang ke rumah orang tua si gadis untuk melaksanakan upacara peminangan. Kedatangan utusan itu diterima oleh orang tua si gadis bersama-sama dengan sejumlah kerabat dekat yang tergolong sebagai kahanggi, mora dan anak boru mereka. Dan menurut tradisi, utusan orang tua si pemuda yang bertugas melakukan upacara peminangan terdiri dari :
1. Abang atau adik laki-laki (kahanggi) dari ayah si pemuda bersama isterinya.
2. Kakak atau adik perempuan dari ayah si pemuda bersama suaminya (anak boru).
3. Abang atau adik laki-laki dari ibu si pemuda bersama isterinya (mora).
Dalam melakukan peminangan, mereka diwajibkan manungkus (membawa oleh-oleh berupa makanan yang dibungkus dengan daun pisang) dan membawa sirih adat untuk dipersembahkan kepada pihak keluarga si gadis yang menerima kedatangan mereka untuk meminang.
Apabila semua orang yang diperlukan untuk melaksanakan upacara peminangan telah hadir dan duduk berhadapan di tempat upacara (rumah orang tua si gadis), maka upacara peminangan dimulai dengan mempersilahkan tokoh anak boru diberi rombongan utusan orang tua si pemuda untuk manyurduhon (mempersembahkan) sirih adat kepada masing-masing kerabat orang tua si gadis yang hadir dalam kesempatan itu. Setelah sirih adat iru mereka terima, maka tokoh anak boru tadi memulai pembicaraan untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka. Selanjutnya pembicaraan peminangan disampaikan oleh utusan orang tua si pemuda secara bergiliran. Dan kata-kata mereka dibalas pula secara bergiliran oleh para kerabat orang tua si gadis yang ikut serta dalam upacara tersebut.
Apabila pihak orang tua si gadis menerima pinangan yang disampaikan oleh utusan orang tua si pemuda, maka pada kesempatan itu ditentukan kapan waktunya akan diselenggarakan upacara manghobar boru atau mangampar ruji, yaitu menyerahkan mas kawin. Jika pinangan tidak dapat diterima oleh pihak orang tua si gadis, maka dalam kesempatan itu mereka menyampaikan penolakan dengan cara halus sambil mengemukakan berbagai alasan yang dapat diterima oleh utusan orang tua si pemuda tanpa merasa sakit hati.
Sumber : Buku “Sipirok Na Soli, Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar